Jangan Terjebak Dalam Unsur Gratifikasi Tanpa Kesepakatan! Berikut Gratifikasi yang boleh diterima dan tidak boleh diterima
01.52
Dalam suatu kasus korupsi tak jarang kita sering mendengar istilah gratifikasi. Tindakan ini mengarah pada pemberian sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan, jabatan, atau tugas. Walaupun terkesan negatif dan mengindikasikan adanya rencana yang merugikan masyarakat atau suatu kelompok sebagai tindakan gratifikasi tanpa kesepakatan, gratifikasi dapat dibagi atas gratifikasi yang boleh diterima dan tidak boleh diterima.
Gratifikasi adalah semua pemberian yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara (Pn/PN). Oleh karena itu gratifikasi memiliki arti yang netral, sehingga tidak semua gratifikasi merupakan hal yang dilarang atau sesuatu yang salah.
Gratifikasi seperti apa yang dilarang?
Gratifikasi yang diterima berhubungan dengan jabatan. Penerimaan tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, bertentangan dengan kode etik, memiliki konflik kepentingan atau merupakan penerimaan yang tidak patut / tidak wajar.
Apa saja unsur gratifikasi tanpa kesepakatan yang tidak boleh diterima?
Gratifikasi yang tidak boleh diterima adalah gratifikasi terlarang, yaitu yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas dan kewajiban pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Untuk memudahkan pemahaman, berikut adalah contoh gratifikasi yang tidak boleh diterima :
1. Terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat diluar penerimaan yang sah;
2. Terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran diluar penerimaan yang sah;
3. Terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi diluar penerimaan yang sah;
4. Terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas diluar penerimaan yang sah/resmi dari Instansi;
5. Dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai;
6. Dalam proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya;
7. Sebagai akibat dari perjanjian kerjasama/kontrak/kesepakatan dengan pihak lain
8. Sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama atau setelah proses pengadaan barang dan jasa;
9. Merupakan hadiah atau souvenir bagi pegawai/pengawas/tamu selama kunjungan dinas;
10.Merupakan fasilitas hiburan, fasilitas wisata, voucher oleh Pejabat/Pegawai
11, Dalam kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya dengan pemberi gratifikasi yang tidak relevan dengan penugasan yang diterima;
12.. Dalam rangka mempengaruhi kebijakan/keputusan /perlakuan pemangku kewenangan;
13. Dalam pelaksanaan pekerjaan yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban/tugas Pejabat/Pegawai;
14. dan lain sebagainya.
Mengapa gratifikasi itu dilarang?
Gratifikasi pada dasarnya adalah “suap yang tertunda” atau sering juga disebut “suap terselubung”. Pegawai negeri atau penyelenggara negara (Pn/PN) yang terbiasa menerima gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk lain, seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya. Sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar korupsi.
Gratifikasi tersebut dilarang karena dapat mendorong Pn/PN bersikap tidak obyektif, tidak adil dan tidak profesional. Sehingga Pn/PN tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Undang-undang menggunakan istilah “gratifikasi yang dianggap pemberian suap” untuk menunjukkan bahwa penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Apa saja unsur gratifikasi tanpa kesepakatan yang boleh diterima?
Pada dasarnya, semua gratifikasi yang diterima oleh Pn/PN wajib dilaporkan pada KPK, kecuali :
1. Pemberian dari keluarga, yakni kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, suami/istri, anak/anak menantu, cucu, besan, paman/bibi, kakak ipar/adik ipar, sepupu/keponakan. Gratifikasi dari pihak-pihak tersebut boleh diterima dengan syarat tidak memiliki benturan kepentingan dengan posisi ataupun jabatan penerima;
2. Hadiah tanda kasih dalam bentuk uang atau barang yang memiliki nilai jual dalam penyelenggaraan pesta pernikahan, kelahiran, aqiqah, baptis, khitanan, dan potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya dengan batasan nilai perpemberi dalam setiap acara paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
3. Pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh penerima, bapak/ibu/mertua, suami/istri, atau anak penerima gratifikasi paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
4. Pemberian dari sesama pegawai dalam rangka pisah sambut, pensiun, promosi jabatan, ulang tahun ataupun perayaan lainnya yang lazim dilakukan dalam konteks sosial sesama rekan kerja. Pemberian tersebut tidak berbentuk uang ataupun setara uang, misalnya pemberian voucher belanja, pulsa, cek atau giro. Nilai pemberian paling banyak Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per pemberian per orang, dengan batasan total pemberian selama satu tahun sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dari pemberi yang sama;
5. Pemberian sesama pegawai dengan batasan paling banyak Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per pemberian per orang, dengan batasan total pemberian selama satu tahun sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dari pemberi yang sama. Pemberian tersebut tidak berbentuk uang ataupun setara uang, misalnya voucher belanja, pulsa, cek atau giro;
6. Hidangan atau sajian yang berlaku umum;
7. Prestasi akademis atau non akademis yang diikuti dengan menggunakan biaya sendiri seperti kejuaraan, perlombaan atau kompetisi tidak terkait kedinasan;
8. Keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum;
9. Manfaat bagi seluruh peserta koperasi pegawai berdasarkan keanggotaan koperasi Pegawai Negeri yang berlaku umum;
10. Seminar kit yang berbentuk seperangkat modul dan alat tulis serta sertifikat yang diperoleh dari kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihan, atau kegiatan lain sejenis yang berlaku umum;
11. Penerimaan hadiah atau tunjangan baik berupa uang atau barang yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja yang diberikan oleh Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau,
12. Diperoleh dari kompensasi atas profesi di luar kedinasan, yang tidak terkait dengan tugas pokok dan fungsi dari pejabat/pegawai, tidak memiliki konflik kepentingan dan tidak melanggar aturan internal instansi pegawai;
Dalam budaya dan adat istiadat di Indonesia, praktik saling memberi dan menerima adalah hal yang lazim. Pengaturan tentang gratifikasi tidak beresiko menghapuskan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang sudah ada sejak lama. Ketentuan tentang gratifikasi ini tidak bertentangan dan bukan dalam rangka menghapus kearifan masyarakat dalam adat dan budaya. Namun, hal ini justru ditujukan untuk memurnikan nilai luhur budaya dan adat istiadat agar tidak ditunggangi kepentingan pihak-pihak tertentu untuk melakukan korupsi. Kebiasaan memberi dan menerima gratifikasi tumbuh subur di lingkungan yang tidak berprinsip pada tata kelola pemerintahan dan perusahaan yang baik.
0 komentar